Header Ads

ads header

Breaking News

BAB I. 7 NILAI MULIA AL- ASMĀ` AL-ḤUSNA

 

CERMINAN DAN NILAI MULIA  AL-ASMĀ` AL-ḤUSNA

Berbagai perilaku dapat kita lakukan sebagai cerminan dari al-Asmā` al-Ḥusna. Dengan al-Asmā` al-Ḥusna kita mengusahakan kebaikan sebagai cerminan atas-Nya. AlAsmā`al-Ḥusna merupakan gabungan dari dua kata yaitu al-Asma` berarti nama-nama, merupakan jama’ taksīr dari kata ismun berarti nama dan al-Ḥusna berarti paling baik, merupakan wazan mubālaghah dari kata ḥusnun berarti baik. Dengan demikian pengertian alAsmā` al-Ḥusna adalah nama-nama merupakan jama’ taksīr dari kata ismun berarti nama dan al-Ḥusna berarti paling baik,

merupakan wazan mubālaghah dari kata ḥusnun berarti baik.

Dengan demikian pengertian alAsmā` al-Ḥusna adalah nama-nama yang paling baik yang Allah Swt. Perkenalkan melalui alāyāt al-qauliyyah-Nya pembahasan bab pertama ini, kita akan mendalami al-Afuww, al-Rozzāq, alMalik, al-Hasīb, al-Hādi, al-Khālik dan al-Hakīm beserta cerminan perilaku yang bisa diambil dari-Nya.

A.  Maha Pemaaf (Al-‘Afuww)

1. Pengertian Al-‘Afuww

Nama al-‘Afuww merupakan nama ke-83 dari 99 al-Asmā` al-Ḥusnā. Kata al-‘Afuww, terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf ‘ain, fa`, dan wauw. Maknanya yaitu meninggalkan sesuatu dan memintanya. Dari sini lahir kata ‘afwu yang berarti meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah (memaafkan). Dalam beberapa kamus kata ‘afwu berarti menghapus, membinasakan dan mencabut akar sesuatu.

Kata al-‘Afuww berarti Allah Maha memafkan kesalahan hambanya. Pemaafan Allah tidak hanya tertuju pada mereka yang bersalah secara tidak sengaja atau melakukan  kesalahan yang tidak   diketahui,  melainkan  pemaafan  secara  universal diberikan kepada semua hamba-Nya bahkan sebelum mereka meminta maaf. Allah Swt. Berfirman

“Sesungguhnya   orang-orang   yang   berpaling   di   antara   kamu   ketika   terjadi pertemuan (pertempuran) antara dua pasukan itu, sesungguhnya mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan (dosa) yang telah mereka perbuat (pada masa lampau), tetapi Allah benar-benar telah memaafkan mereka. Sungguh, Allah maha Pengampun, Maha Penyantun” (QS. Ali ‘Imrān [3]: 155)

Dalam al-Qur`an kata ‘afwu ditemukan ada 35 kali dengan berbagai bentuk dan makna. Dan kata ‘afwu ditemukan tiga kali yang merujuk kepada Allah.

2. Teladan dari nama baik Al-‘Afuww

a.   Meyakini bahwa Allah memaafkan kesalahan hambanya

Sebagai umat Islam, kita harus meyakini bahwa kesalahan-kesalahan kita akan dimaafkan oleh Allah Swt. Tidak ada kesalahan yang tidak dimaafkan oleh Allah selama kita mau bertaubat. Allah Swt. Berfirman:

“Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami   mendatangkannya   (pahala).   Dan   cukuplah   Kami   yang   membuat perhitungan” (QS. al-Anbiyā` [21]: 47

Oleh karenanya, seyogyanya kita memahami bahwa kesalahan yang pernah dilakukan   pasti   telah   dimaafkan   oleh  Allah   apalagi   jika   disertai   dengan pertaubatan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Melakukan taubat adalah menyadari  kesalahan  hamba,  meminta  ampun  atas  kesalahan  tersebut,  dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan serupa kembali.

b.  Perintah untuk menjadi manusia pemaaf dan penutup aib orang lain

Untuk meneladani kata ‘afwu, maka kita harus menjadi seorang pemaaf dan berusaha menutup aib orang lain. Menjadi pemaaf dan menutup aib orang lain sekarang ini penting.  Aktifitas sehari-hari dalam dunia nyata maupun dunia maya terjadang   membuat   kesalahan,   baik   sengaja   maupun   tidak   sengaja.   Oleh karenanya  sikap  pemaaf  dan menutup aib  orang lain  harus dibiasakan  dalam kehidupan-sehari hari. Allah Swt. berfirman:

“Jika kamu menyatakan kebajikan, menyembunyikannya atau memaafkan suatu kesalahan(orang lain), maka sungguh, Allah Maha Pemaaf, Mahakuasa” (QS. an-Nisā [4]: 149)Rasulullah Saw. bersabda:

 

 “Barangsiapa menutup aib seseorang muslim, Allah akan menutub (aibnya) pada hari Kiamat” (HR. Ahmad)

B.  Maha Pemberi Rezeki (Ar-Razzāq)

1. Pengertian Ar-Razzāq

Nama ar-Razzāq merupakan nama ke-18 dari 99 al-Asmā` al-Ḥusnā. Kata Ar- Razzāq terambil dari akar kata ra`, za`, dan qaf, berarti rezeki atau penghidupan. Dalam KBBI, rezeki berarti sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan, dapat berupa makanan, nafkah, dan hal-hallain. Imam Ghazali menjelaskan kata ar-Razzāq adalah Dia yang menciptakan rezeki dan menciptakan yang memberi rezeki, serta Dia pula yang mengantarnya kepada mereka dan menciptakan sebab-sebab sehingga mereka dapat menikmatinya.

Dalam al-Qur`an, ayat-ayat yang menggunakan akar kata razaqa banyak ditemukan. Akan tetapi ayat yang mengandung kata ar-Razzāq hanya ditemukan padaSurah ad-Dzāriyāt [51]: 58:  

kekuatanyang kukuh”. (QS. ad-Dzāriyāt [51]: 58)

2. Teladan dari sifat Ar-Razzāq

Meyakini bahwa Allah mnjamin rezeki setia mahluknya serta berusahan mendaatkan rezeki Sebagai makhluk Allah, kita harus meyakini bahwa Dia telah menjamin rezeki makhluk-makhluknya. Tidak ada makhluk-Nya yang dibiarkan terlunta-lunta kecuali karena perbuatan pengerusakan dari makhluk-Nya sendiri. Allah Swt. berfirman:

“Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauḥ al-Maḥfuẓ). (QS. Hūd [11]: 6)

 

Dengan jaminan rezeki yang Allah berikan ini, kita harus senantiasa berdoa kepada-Nya untuk diberikan petunjuk atas letak rezeki-Nya dan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan rezeki yang telah dijamin oleh Allah. Allah Swt. Berfirman

“Dialah  yang  menjadikan  bumi  untuk  kamu  yang  mudah  dijelajahi,  maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (QS. Al-Mulk [67]:15)

Allah menjamin rezeki makhluknya dengan menjadikan bumi ini sebagai bahagian dari rezeki-Nya. Allah menjadikan bumi ini kaya akan sumber daya alam yang dapat dikelola oleh manusia. Oleh karena itu, kita harus jeli melihat peluang rezeki dalam bumi yang kaya ini. Agar jeli melihat peluang ini, kita harus melewati tiga syarat yaitu: 1) Berusaha dengan maksimal dengan cara yang baik;

2)   Yakin   bahwa   keberhasilan   akan   diraih   dengan   usaha   maksimal;   3) Memasrahkan diri atas hasil apapun yang telah didapatkan.

b.  Saling berbagi rezeki kepada makhluk lain

Sebahagian dari cerminan nilai Ar-Razzāq dalam kehidupan di dunia ialah dengan senang hati membagikan rezeki dari Allah kepada setiap makhluk-Nya. Sikap membagikan rezeki kepada setiap makhluk Allah merupakan wujud dari perantara sampainya rezeki Allah. Sebagaimana Allah Swt. berfirman:

“Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka” (QS. Al-An’ām [6]: 151)

Sikap membagikan rezeki merupakan perintah dari Allah Swt. Jika sikap ini diaktualisasikan, maka silaturahmi dengan sesama akan semakin erat dengan sendirinya. Sebaliknya jika sikap ini ditinggalkan, maka sifat individual akan semakin marak dan sifat peduli terhadap orang lain akan menurun. Allah Swt. berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebahagian rezeki yang telah kami berikan kepadamu” (QS. Al-Baqarah [2]: 254)

Dalam membagikan rezeki, kita tak diperkenankan untuk menyertainya dengan  perbuatan  maupun  perkataan  yang  menyakiti  hati.   Perbuatan  dan perkataan yang menyakiti hati akan melemahkan silaturahmi. Lebih baik berbuat dan berkata baik daripada membagikan rezeki dengan perbuatan dan perkataan yang buruk. Allah Swt. berfirman: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik dari sedekah yang diiringi tindakan menyakiti. Allah Mahakaya, Mahapenyantun”. (QS. Al-Baqarah [2]: 263)

C.  Maha Penguasa (Al-Malik)

1. Pengertian Al-Malik

Nama al-Malik merupakan nama ke-18 dari 99 al-Asmā` al-Ḥusnā. Kata al- Malik secara umum diartikan raja atau penguasa. Kata al-Malik terdiri dari huruf mim, lam, dan kaf  yang rangkaiannya  mengandung arti kekuatan dan kesahihan. Imam al-Ghazali menjelaskan arti al-Malik ialah Dia yang tidak butuh pada sesuatu dan Dia adalah yang dibutuhkan. Dia adalah Penguasa dan Pemilik secara mutlak segala hal yang ada. Hasilnya, al-Malik memiliki kuasa atas pengendalian dan pemeliharaan kekuasaan-Nya.

Dalam al-Qur an,  kata  al-Malik  terulang  sebanyak  lima  kali.  Dan  dua diantaranya dirangkaikan dengan kata ḥaq dalam arti pasti dan sempurna yakni pada

Surah Thāhā [20]: 114 dan Surah al-Mu`minūn [23]: 116. Allah berfirman: “Maka  Maha  Tinggi  Allah  raja  yang  sebenar-benarnya,  dan  janganlah  kamu tergesa-gesa   membaca   Al   qur'an   sebelum   disempurnakan   mewahyukannya kepadamu,   dan    Katakanlah:   "Ya    Tuhanku,    tambahkanlah    kepadaku    ilmu

pengetahuan." (QS. Thāhā [20]: 114)“Maka  Maha  Tinggi  Allah,  raja  yang sebenarnya;  tidak  ada  Tuhan  selain  Dia, Tuhan (yang mempunyai) 'Arsy yang mulia.” (QS. al-Mu`minūn [23]: 116)

2. Teladan dari nama baik Al-Malik

a.   Meyakini bahwa Allah Maha Menguasai segala kekuasaan

Sebagai umat yang beriman, kita harus meyakini bahwa hanya Allah  yang memiliki kuasa secara mutlak atas kuasa-Nya. Tidak ada kekuasaan yang mutlak dari makhluknya meskipun itu raja atau pun presiden. Keduanya hanya diberikan tugas untuk mengatur dan mengelola kekuasaan Allah secara temporer.Allah Swt. Berfirman

“Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan janganlah engkau (Muhammad)  tergesa-gesa  (membaca)  al-Qur`an  sebelum selesai  diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, ‘Ya Thuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku’”. (QS. Thāhā [20]: 114)

Kekuasaan Allah tidak terbatas adanya. Salah satu dari kekuasaan-Nya ialah bumi dan langit dengan segala hal yang menyertainya serta segala sesuatu yang kasat mata ataupun gaib.

Allah Swt. berfirman: “Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segaa sesuatu dan kepada-Nya kamu akan dikembalikan”. (QS. Yāsin [36]: 83)

b.  Meminta izin kepada pemilik barang dan bertanggung jawab

Keyakinan  bahwa  hanya  Allah  merupakan  Pemilik  dan  Penguasa  segala sesuatu membuat kita sebagai hambanya harus memikirkan tindakan yang akan dilakukan.  Kita  hidup  di  Bumi  milik-Nya.  Itulah alasan  kita  untuk  tak  patut sewenang-wenang  terhadap  bumi-Nya.  Kita  harus  meminta  izin  kepada-Nya dalam segala tindakan kita.

Allah Swt. berfirman:

 

اباوص لاقو نمحرلٱ هل نذأ نم لّإ نوملكتي لّ افص ةكئلملٱو حورلٱ موقي موي

Pada hari itu, ketika ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata kecuai siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Mahapengasih dan dia hanya mengatakan yang benar”. (QS. An-Naba` [78]: 38) Selain meminta izin kepada Allah, manusia diminta bertanggung jawab atas segala  hal  yang  mereka  lakukan  lebih-lebih  kepada  orang  yang  dianugerahi

kerajaan-Nya (dunia).

Raja (penerima amanat) di dunia pun dituntut untuk mengatur dan mengendalikan kehidupan di dunia dengan sebaik-baiknya. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa raja  yang hakiki  yaitu, 1) Kerajaannya berupa kalbu dan wadah kalbunya, 2) Bala tentaranya ialah syahwat, amarah, dan nafsunya, 3) Rakyatnya adalah lidah, mata, tangan, dan seluruh anggota badannya.Allah Swt. berfirman: (QS. Āli ‘Imrān [3]: 26)

Orang-orang arif berpesan, “Jika kerajaan atau kekuasaan anda mendorong untuk  melakukan  penganiayaan,  maka  ketika  itu  ingatlah  kekuasaan  Allah

terhadap diri anda”.

 

“ Khairul jaliisi fizamanil qitab “

 

Tidak ada komentar