Kedudukan Akal dan Wahyu I Akidah XII Agama Sem. I
KB 1 . KEDUDUKAN AKAL DAN WAHYU
![]() |
| Akidah Akhlak | |
Akal dan wahyu, sampai saat ini masih menjadi perdebatan, mengenai dominasi kedua nyadalam kehidupan umat Islam khususnya. Diturunkannya Q.S. al-Alaq yang dimulai dengan kata اءرق (bacalah), memberikan nuansa dan penafsiran yang berbeda, tentang apa yang harus dibaca? Apakah hanya wahyu, atau seluruh alam semesta yang tentu saja akan lebih banyak melibatkan akal pikiran. Bacaan umat Islam pada akhirnya semakin berkembang, baik bacaan nakliah (wahyu) ataupun akliah (akal). Berkembangnya kualitas baca ini, kemudian mempengaruhi pada cara pandang masing-masing
Muktazilah, -aliran yang dipelopori oleh Waṣil bin Atho- karena terbiasa berfikir secara rasional, melakukan berbagai penelitian, maka menghasilkan beberapa temuan. Iklim akliah ini, terus mempengaruhi kehidupan mereka, sehingga wajar jika mereka melakukan pembelaan terhadap akal secara membabibuta, ketika merasa akal yang mereka agungkan, tersaingi oleh hal lain (dalam hal ini adalah wahyu). Pembelaan terhadap akal, pada akhirnya menemukan titik puncak dengan adanya pembantaian terhadap para ulama yang tidak sepaham dengan mereka, maka lahirlah peristiwa mihnah.
Perspektif Muktazilah
Dr. Mustafa as-Syak’ah, mengatakan bahwa, akidah Muktazilah berdiri di atas pondasi akal dan perdebatan. Bahkan di antara kaum Muktazilah -yakni sekte Jahidiyah-, mencela para fukaha dan Muhaddiṡin, seraya mengatakan bahwa mereka termasuk orang awwam, karena mereka melakukan taklid dan tidak berinovasi.
Dalam posisi atau kedudukan akal -sebagaimana dikatakan oleh al-Syahrastani-, Mereka (Muktazilah) sepakat bahwa meskipun wahyu belum diturunkan, manusia pasti mampu mengetahui pokok-pokok makrifat (mengetahui Tuhan) dan syukur atas anugerah nikmat yang Tuhan berikan (kedua hal tersebut bisa diketahui melalui akal). Begitupun dengan keburukan dan kebajikan, mengikuti kebajikan dan menjauhi keburukan, merupakan hal-hal yang pasti bisa diketahui melalui akal (tidak mesti melalui wahyu). Adapun diutusnya para Nabi, tidak lebih hanya sebagai ujian dan cobaan.
Perspektif Asyariah
Asyariah pada dasarnya mengakui pentingnya akal dan wahyu. Bagi mereka, dengan akal seseorang dapat mengetahui adanya Tuhan, sedangkan pengetahuan tentang baik dan jahat dan kewajiban-kewajiban manusia dapat diketahui melalui wahyu dan akal adalah bukti kebenaran wahyu.
Menurut al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Afraniati Affan bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban bagi manusia ditentukan oleh wahyu.
Perspektif Maturidiah
Maturidiah juga mengakui bahwa tidak segala sesuatu bisa dikenali baik dan buruknya oleh akal. Maturidiah membagi sesuatu yang berkaitan dengan akal ke dalam 3 bagian, yaitu:
1) Sesuatu yang hanya bisa diketahui kebaikannya oleh akal
2) Sesuatu yang hanya bisa diketahui keburukannya oleh akal
3) Sesuatu yang tidak bisa diketahui kebaikan dan keburukannya oleh akal, kecuali setelah ada petunjuk wahyu
Tidak ada komentar